Manusia dan Internet

Pasti sudah seringkali kita dengar atau baca kalimat yang menyatakan bahwa kita sedang hidup pada hari-hari modern dimana standard modern hari ini tidak lepas dari indikator koneksi internet. Internet merupakan sebuah inovasi yang awalnya -seperti teknologi baru lain pada umumnya- mungkin banyak mendapat penolakan dan kritik dari sebagian masyarakat. Manusia memang begitu, pada sesuatu yang mereka tidak ketahui, mereka akan mengeluarkan 2 sikap. Kalau tidak menyepelekan, ya ketakutan. Sama seperti pada kasus hantu. Saat mendengar cerita hantu, manusia akan bereaksi, kalau tidak “ah, masih percaya pada hal begituan”, atau, “waduh kalau begitu aku tidak mau tidur sendiri malam ini”. 

Begitu juga dengan internet, “hantu” yang satu ini pada awalnya juga mungkin mendapatkan cap negatif oleh masyarakat. Apalagi dulu internet merupakan teknologi yang dirancang untuk kebutuhan militer. Sama juga seperti mobil dan pesawat, yang awal perkembangan masivnya digunakan untuk kepentingan militer. Bahkan beberapa versi mobil jaman dulu ada yang dibuat “versi perang”-nya. 


Internet mulai merakyat ketika perangkat pendukungnya juga mulai diperkenalkan untuk kebutuhan publik. Dimulai dari komputer yang besar-besar itu, sampai akhirnya sekarang menjadi perangkat-perangkat kecil yang bisa digenggam oleh tangan, bahkan ada beberapa yang bisa dilipat-lipat. Mulailah orang-orang berfikir positif dengan keberadaan internet ini. Mereka mulai melihat bahwa internet ini sebenarnya mudharat nya bisa dikecilkan dan menimbulkan manfaat yang lebih besar. Mulailah era email yang sempat menjadi standard korporasi dan menjadi gaya hidup sebagian orang-orang “elite” yang menyelipkan sedikit rasa bangga saat menyodorkan alamat email kepada rekannya, apalagi kalau rekannya “hanya” memiliki nomor HP saja. Kudet!


Lalu timelapse berjalan hingga ke zaman ini. Selain perangkat yang sudah ada dalam genggaman, internetnya juga sudah ada dalam genggaman masing-masing orang, bahkan dalam genggaman seluruh kalangan. Kalau zaman dulu hanya segelintir orang saja, sekarang bahkan sudah menjadi standarisasi untuk bisa melakukan atau mendapatkan sesuatu. Masuk Mall harus ada internet, tersesat ditolong menggunakan internet, kangen tersalurkan melalui internet. Tua muda, atas bawah, semua sudah seperti sunnah muakad untuk punya akses internet. Internet sudah memberikan manfaat tak terbatas, khususnya di Indonesia yang sekarang semuanya serba internet. Hal inipun juga didukung oleh provider yang siap melayani kebutuhan internet masyarakat Indonesia 24 jam. Salah satu provider tersebut adalah IndiHome yang sudah ada pada seluruh penjuru Indonesia.


Namun, seperti halnya pedang, internet tersebut masih berstatus alat bantu manusia yang penggunaannya tergantung pada manusia itu sendiri. Internet mempermudah segala hal, baik yang positif maupun yang negatif. Kata kuncinya adalah Instan. Informasi yang bisa didapat secara instan memberikan dampak yang paralel terhadap manusia. Mari kita bahas dampak negatifnya karena diatas sudah dibahas dampak positifnya.


Internet membuka akses, tapi juga membatasi beberapa hal, salah satunya muwajahah. Muwajahah adalah bentuk pertemuan murni atau tatap muka langsung yang dilakukan oleh manusia. Spesifikasi tatap muka full version tersebut meliputi bahasa tubuh, nada bicara, tutur kata dan hal hal lain yang bisa dirasakan oleh seluruh indra manusia. Hal inilah yang masih terbatas dalam penerapan internet dimana menurut saya, salah satunya, menuntut ilmu yang baik itu harus dengan tatap muka full version atau muwajahah. Adanya seluruh unsur tersebut merupakan suatu kriteria untuk membangun hubungan yang sehat dalam skala tertentu. Sopan santun juga tidak sepenuhnya tersalurkan dalam dunia internet. Makanya sampai sekarang, internet tetap disebut dunia Maya, karena memang yang kita lihat dalam layar kaca kita adalah dot-dot pixel yang bersatu kemudian membentuk informasi yang akan kita konsumsi berdasarkan kapasitas pemikiran kita. Dalam arti lain, “tidak senyata itu”. Hal inilah yang sepertinya perlu dipahami dan diresapi oleh masyarakat Indonesia, bahwa layer kehidupan kita ternyata berlapis-lapis. 


Kesimpulannya, kita bisa berangkat ke negara lain menembus imigrasi secara virtual, dengan passport bernama internet. Kita bisa bekerja diluar negeri dengan visa bernama internet. Namun, hal tersebut juga harus diimbangi dengan kesadaran kita sebagai manusia nyata bahwa internet hanyalah alat, jangan sampai hal yang “maya” mengendalikan kita.


Comments

Popular posts from this blog

Artificial Environment

Catatan Seorang Gadget Freak saat Membeli Smartphone [ Penjelasan Rekondisi, Second ori dll]

Welcome to my Blog